Hari ini menyenangkan sekali mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Diseminasi Forum Umum Kanwil DJP DI Yogyakarta di KPP Pratama Bantul. Walaupun hari ini diawali hujan rintik-rintik, saya tetap bersemangat datang ke Kantor dulu kemudian berangkat bersama Kasi dan satu teman saya, Ratih, ke Bantul. Disuguhi jajanan yang luar biasa enak dan variatif, ditambah lagi cukup mengenyangkan perut saya yang sedari pagi hanya diminumi air madu hangat. Syahdu sekali.
Kegiatannya cukup penuh dengan materi yang saya merasa sangat kurang atau belum memahaminya, entah dari kepegawaian, keuangan, mutasi, kenaikan pangkat, karir, dan lain sebagainya di luar perpajakan. Tiga tahun belajar pajak dan akuntansi, dua tahun di bagian pelayanan, dan setahun di bagian penyuluhan tidak membuat saya menjadi paham akan hal- hal di luar perpajakan, seperti keuangan dan izin sakit. Saya belajar gaji dan tukin dari bulan Agustus 2017 sampai dengan hari ini kurang lebih delapan bulan. Sangat menyedihkan saya belum belajar banyak. Saya masih mengutak atik aplikasi PPh pasal 21 saja. Saya belum menyentuh aturan terkait bagian umum. Hanya sedikit dan itu sebatas yang diperlukan untuk gaji dan tukin saja. Masalah lain yang lebih kompleks belum saya pelajari. Tetapi jika masalah mutasi dan pola karir itu sangat menggugah semangat saya untuk melek karena ini adalah bagian penting dalam perjalanan kehidupan saya jika saya diberikan umur panjang oleh Allah SWT. Aamiin.
Perasaan saya bahagia sekali ketika saya ditempatkan di Jogja tetapi terkait mutasi dan pola karir, saya takut saya akan selalu terjebak di zona nyaman, sehingga saya hanya mikir kerja dan gaji. Saya merasa saya menjadi bukan manusia yang menunaikan tugasnya sebagai khalifah. Saya masih merasa bahwa saya bisa lebih dari ini. Jogja adalah kota yang nyaman untuk tinggal dan beranak pinak. Betul sekali. Saya tidak ingin keluar dari Jogja, tetapi karena pola mutasi dan karir di tempat saya bekerja , saya tidak mungkin akan di Jogja selamanya. Maksimal 8 tahun saya berada di Jogja kalau sesuai ketentuan, saya baru 3 tahun berada di Jogja. Maksimal 5 tahun lagi saya harus menyiapkan diri untuk pindah. Namun, sekarangpun jika harus pindah ke tempat yang Allah tempatkan, saya rela.
Begitulah isi pikiran saya ketika berada di forum umum ini, membuat saya matang untuk tidak bertahan di Jogja terlalu lama. Saya tahu memasuki Jogja sangat sulit dan saya tidak akan melepaskannya begitu saja. Saya harus menjadi yang terbaik versi saya supaya bisa merayu Allah agar Allah sayang kepada saya sehingga saya tetap di sini atau Allah berkata lain bahwa saya harus berkelana dahulu.
Forum umum membuat saya berpikir bahwa ini mungkin atau bahkan pasti ketetapan dari Allah yang diberikan kepada saya. Kenapa? saya bersuamikan seorang laki-laki baik dan penyabar yang pasti tidak akan saya temukan di belahan dunia atau planet manapun, tetapi raganya sulit saya gapai. Hatinya yang lembut meluluhkan hati saya yang keras, tetapi saya tak sanggup untuk mendegar degup jantungnya langsung. Kesempatan memiliki anak juga tidak mudah karena sedih kehilangan calon buah hati juga menjadi lara bagi saya calon ibu. Karena Jogja terlalu nyaman bagi setiap orang, maka saya salah satunya diberikan aral yang membuat saya tidak terlena akan kenyamanan ini. Jogja itu kota penuh kenangan sekaligus penuh sendu, tak satu haripun saya lewati tanpa tetesan air mata. Saya sedikit demi sedikiti sadar bahwa inilah salah satu jalan yang harus saya lewati untuk melewati level berikutnya menjadi khalifah di bumi ini. Agar apa? agar saya tahu apa arti perjuangan, apa arti kesabaran, dan apa artinya ketidaknyamanan.
Saya betemu orang di bagian umum berasal dari Jawa yang telah berpetualang dibelahan bumi sana, dekat Filipina maupun dekat Singapura. Kelaraan yang saya alami tidak ada apa-apa dibandingkan mereka, tetapi saya merasa bahwa saya sendiri tanpa kehadiran suami yang bisa saya lihat matanya, hidungnya, dan rambutnya. Suami saya berkata bahwa saya hanya sedang membuat sebuah ruang sendiri untuk diri saya sendiri dan tidak mau membuka untuk orang lain. Saya hanya membuat masalah untuk diri saya sendiri. Apakah iya? Saya sendiri tidak tahu apakah demikian.
Saya sering melihat teman-teman sebaya hidupnya bahagia di mata saya, tinggal bersama suami, memiliki anak, bermain bersama. Saya tidak tahu apa masalah mereka karena yang terlihat hanya bagian luarnya saja dan di situ saya merasa cemburu. Sering saya mengadu kepada Allah. Sering pula saya menangis di hadapan ayahanda tercinta mencurahkan isi hati karena keterpaksaan saya jauh dari kekasih tersayang.
Jika orang menikah karena merasa telah menemukan kebahagiannya, namun saya menikah untuk mencari kebahagiaan. Saya mengenal suami saya lebih dalam setelah menikah dan saya tidak melakukan proses pacaran seperti orang kebanyakan. Saya percaya yakin dan menikah, cuma satu keyakinan saya bahwa saya akan menjadi lebih berguna, bermanfaat setelah menikah. Nilai ibadah setelah menikah menjadi berlipat ganda karena Allah lipatgandakan pula aral dan rintangan dalam kehidupan pernikahan. Saya yakin itu. Itu yang membuat saya bertahan hidup bahwa sekarang Allah sangat sayang kepada saya dan suami saya.
Jika orang menikah karena merasa menemukan belahan jiwanya, saya menikah tidak tahu apakah dia belahan jiwa saya atau bukan. Yang saya yakini bahwa saya dan dia belajar untuk menjadi belahan jiwa sang Pencipta. Ingin sekali saya merebut hati Allah dan menaruhnya di dalam hati saya dan suami. Saya harap Allah memberikan hati dan kasihNya untuk kami sehingga Allah dapat persatukan kami belahan jiwa yang terpisah secara fisik. Jikalaupun Allah belum memberikan hal itu, saya harap Allah tetap menyatukan jiwa-jiwa kami yang sangat mengharap belas kasihnya. Semoga sebelum jiwa ini lepas dari raga ini, kami masih sempat untuk bersama di dunia. Ketika pun itu sangat sulit, kami berharap Allah pertemukan jiwa-jiwa kami di akhirat nanti.
Aamiin
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, seperti yang Pak Amin bilang dalam ucapan di perpisahannya sebagai Kabag Umum, apakah bekal kita untuk di akhirat sudah cukup? Pensiun itu mudah tetapi ketika putus jiwa ini dari raga apakah sangu kita cukup? Uang pensiun cukup untuk hidup sehari-hari tetapi apakah bekal di akhirat bertemu sang Khalik sudah cukup?
Semoga saya tetap dapat memetik hikmah dan pembelajaran dari setiap kegiatan yang saya lakukan setiap harinya. Semoga Allah berikan kesehatan untuk saya sehingga saya dapat menulis dan berbagi kepada teman semua.
Aamiin
Salam Perjuangan, Kawan
27 Maret 2017 18.58 KPP Pratama Yk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar