Sabtu, 01 Februari 2014

Pandangan Politik Aneh Gw



Ok guys, gue tahu gue bukan orang politik dan gue butuh teman yang lain untuk diajak konsultasi terkait situasi politik. Kalau mau ngomongin politik rasanya aneh juga guys karena gue juga gak tahu arti dari politik. Menurut gue politik itu cara, siasat, strategi untuk memenuhi tujuannya. Oleh karena itu, gak akan heran orang akan melakukan apa saja demi tujuan dan ambisi dia. Menurut gue sah sah aja dan wajar kalau orang itu berpolitik asalkan tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Inilah yang patut untuk dipertanyakan.
Gue pernah belajar kalau ada yang namanya penghindaran pajak atau tax avoidance. Tax avoidance itu boleh kok dilakukan. Lho? Yaiyalah orang mau memenuhi tujuannya agar pajak yang dibayar gak banyak-banyak banget, caranya menghindari pajak. Itu politik guys. Toh strategi sah-sah aja. Yang dimaksud di sini adalah menghindari pajak secara legal. Legal artinya sesuai dengan prosedur hukum dan peraturan yang ada. Menghindari pajak di sini artinya menggunakan celah hukum. Peraturan dibuat oleh manusia tentunya ada celah atau kelemahan di dalamnya. Orang yang cerdas tentu akan menggunakan celah itu untuk menghindari pajak. Gue yakin itu politik yang bener kok. Yang gak bener adalah ketika sudah aturan yang demikian dan mereka berusaha untuk berbuat curang seperti mengurangi penghasilan atau penjualan yang sebenarnya atau menyembunyikan dividen yang seharusnya diberikan, dan politik kotor lainnya.

Berbicara politik kotor sepertinya agak bertentangan dengan kalimat gue di atas bahwa sah sah aja dan wajar ketika orang melakukan apa saja demi mencapai ambisinya. Namun, kalau caranya salah pantas gak kalau gue sebut itu dengan strategi kotor atau kata lain politik kotor? Menurut gue ini terserah pada kalian yang baca tulisan gue. Acara yang ngehits banget saat ini adalah masalah pemilu 2014. Banyak hal aneh yang muncul menjelang pemilu 9 April ini.
Yang pertama adalah masalah Yusril Ihza Mahendra dan Effendi Ghazali yang mengajukan untuk mengkaji ulang UU Pilpres. Gue gak tahu persis kalimat pada undang-undang itu tapi intinya adalah presiden yang dapat diajukan pada pilpres nanti adalah presiden yang diusung oleh partai yang memperoleh suara minimal 20 persen. Jadi, partai yang hanya punya suara di DPR kurang dari 20 persen tidak dapat mengajukan orang dari partainya untuk menjadi calon presiden RI tahun ini.
Hal ini dikarenakan (menurut dosen gue) untuk mengurangi gesekan antara pemerintah dan parlemen. Jadi diharapkan suara parlemen yang menyetujui keputusan pemerintah  itu mayoritas. Keputusan pemerintah akan didukung parlemen karena anggota parlemen adalah berasal dari partai sang presiden. Hal ini agar tidak sering terjadi pertentangan pendapat yang membuat Negara goyah. Intinya ya agar seimbang. Ini tidak hanya sebatas partai si presiden tapi koalisis antar partai bisa membantu pemerintah mengapliksikan peraturannya. Ketika UU dibuat pemerintah, UU itu harus disetujui pula oleh parlemen karena dianggap parlemen adalah wakil rakyat.
Contoh ketika partai a mendapat suara 30 persen, partai b mendapat suara 20 persen dan partai c mendpat 20 persen pula, serta partai lain sisanya. Walau demikian, tidak bisa partai dari pemerintah yang akan sangat dominan karena kita bisa melihat ada partai b dan c yang akan mengawasi. Di sini ada fungsi check dan balance antara pemerintah dan parlemen. Tentu partai pemerintah setidaknya mempertimbangkan atau malah mendukung program pemerintah. Sehingga tidak perlu  ada percecokan yang berarti anatara pemerintah dan partai. Ketika ada fraksi lain menolak tentu itulah muncul fungsi check dan balance muncul tetapi dapat diimbangi karena ada suara dari partai pemerintah yang mendukung pemerintah. Sangat sah jika ada dua pendapat yang muncul.
Masalah muncul ketika dua tokoh di atas mengajukan untuk mengkaji uu pilpres yang menganggap bahwa presiden tidak harus bergantung pada suara parlemen di DPR. Jadi setiap orang berhak untuk mengajukan diri menjadi presiden  dan tidak perlu melihat hasil pemilihan legislatif pada tanggal 9 April. Selain karena alasan hak setiap orang untuk menjadi pemimpin namun ada hal lain tentunya. Bukan bermaksud berprasangka buruk tetapi memang hal ini bikin muntah dan gue sendiri gak tahan banget ketika orang yang punya stasiun televise (jelas seorang pengusaha) mempromosikan dirinya sebagai calon presiden atau wakil presiden.
Gue gak tahu apa yang harus gue harus bilang kepada kalian, prasangka paling buruk ada yang ngomporin orang-orang untuk mempertimbangkan bahwa semua orang berhak ngajukan jadi presiden walau suara di DPR sangat kecil. Gini gambarannya, nama gue Herwin dan gue punya stasiun TV Herwin TV missal. Karena gue punya partai dan gue ngerasa kalau partai gue terlalu kecil untuk jadi tunggangan gue jadi presiden, dan gak percaya karena bakal dapat suara lebih dari 20 persen, gue pengin UU pilpres itu dikaji ulang dan berharap beubah bahwa setiap orang berhak mengajukan diri. Mungkin aja pemilihan presiden bareng dengan pemilihan legislative. Di samping mengurangi anggaran karena hanya satu hari pemilihan, dia bahkan dengan mudah untuk mendaftarkan diri menjadi calon presiden dan wakil presiden.
Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di atas kita dengan membuat iklan partai sebelum waktunya beriklan. Gue kayaknya pernah baca sudah ada yang melanggar seperti Hanura, Gerindra, Golkar, dan gue lupa intinya terkait kampanye lewat media televisi sebelum waktunya. Menurut gue melanggar atau tidak itu gak penting karena mereka berhak untuk memasang iklan karena mereka punya duit lebih apalagi yang punya tivi merah atau tivi biru. Apalagi dia yang punya stasiun TV, hak hak dia untuk mengiklankan diri. Toh gak ada yang rugi dari Negara kan? Negara akan rugi apa coba?
Memang kerugian secara finansila tidak ada. Tetapi masyarkata banyak menonton mereka. Media adalah cara yang paling efektif untuk kampanye. Ketika ada aturan untuk tidak membuat iklan itu hanya sanksi etik yang dapat diberikan kepada orang tersebut bahwa hal itu sudah melanggar aturan yang ada. Tapi menurut gue itu uang-uang mereka habis untuk mereka juga. Tivi juga tivi mereka.
Kalau zaman dulu, mereka yang punya tivi belum berani seterbuka itu untuk membuka diri melalu media, mereka semakin gencar untuk buka-bukaan. Partai Golkar punya Aburizak Bakrie dengan TV one dan AnTV. Wiranto bersama Hary Tanoe yang punya tv mnc TV, Global tv dan RCTI. Surya Paloeh dengan Metro TV. Stasiun mana yang tidak dimiliki oleh sang calon? Ya mungkin stasiun besar seperti trans corp yang tidak ikut campur walau pak Tanjung akan maju 5 tahun lagi gue prediksi. Haha. Stasiun yang paling netral ya TVRI. Haha. Gue tetap berkeyakinan toh itu tv mereka. Tv swasta. Pemerintah tidak akan mampu dan tidak ada kekuasaan untuk mengusik tv swasta itu. Dahulu media merupakan media yang data dikontrol pemerintah sekarang medialah yang mengontrol pemerintah dan rakyat. TITIK.
Orang orang ngerasa udah percaya diri kalau dia bakal jadi presiden adalah Pak Abu, Pak Bowo, Pak Paloeh, dan Pak Wiranto, termasuk yang masuk konvensi kayak Pak Anis, Pak Gita, Pak Edhi, emm siapa lagi ya? Gue lupa.
Selain iklan ada juga yang memberikan bantuan social kepada rakyat padahal dia belum tentu jadi calon presiden. Sebut saja Wiranto dan Hary sang pemilik tivi sinetron itu. Mereka memberikan pinjaman modal sebesar 500.000 s.d. 1.000.000 kepada orang di Jakarta dan sepertinya hanya tivinya saja yang menayangkan berita itu. Entah itu benar-benar pinjaman atau bantuan social, gue gak tahu. Yang gue tahu yang dipake uang mereka, wuih kayak bener ya? Gue bisa bilang gue anti politik uang tapi gue mau kok nrima uang pinjama atau bantuan social. Gue gak akan bilang itu politik uang karena orang mau ngasih duit kok dilarang. Mau sodakoh kok dilarang. Hello? Itu teori dari mana? Pada akhirnya politik uang atau tidak, uang tetap ada di tangan gue. Ada masalah?
 Namun, secara pribadi pula jika ada orang yang menghalalkan segala cara untuk menjadi pemimpin dengan harta yang ia miliki dan kekuasaan yang ada, adalah orang yang tidak patut untuk menjadi pemimpin. Gue yakin ketika dia menjadi pemimpin dia akan menggunakan media kembali untuk memperngaruhi rakyat agar memenuhi tujuan bisnis dia. Ketika dia hanya menggunakan media saja tanpa ada pertimbangan legislative maka ada efek yang muncul. Pertama, adalah fungsi presiden akan kembali kuat melebihi legislative sama seperti zaman Orde Baru. Legislatif akan takluk kepada presiden karena presiden terlalu berpengaruh di media rakyat. Kedua ketika parlemen banyak yang tidak setuju dengan keputusan atau uu yang dirancang presiden maka butuh waktu yang lama dan ekstra usaha untuk mengaplikasikan uu itu. Goyah, tidak seimbang akan terjadi di Negara ini.  Tidak ada yang mau mengalah dan tidak ada yang saling mendukung merupakan hal terburuk yang ada di pikiran gue. Ketiga, Negara akan berjalan secara lambat, mudah goyah, dan mudah di adu domba.
Gue gak menyalahkan atau membenarkan perlunya pilpres tidak menunggu pemilu legislative. Kalau terjadi endingnya bahwa presiden boleh siapa aja tanpa bergantung pada partai. Maka ketika jadi presiden gue berharap bahwa dia gak akan menggunakan media apapun untuk menghalalkan tujuannya. Gue berharap legislative gak terlalu ego karena presiden yang tidak berasal dari partainya. Gue berharap pula presiden gak seenaknya sendiri bikin aturan yang terlalu mendominasikan asing daripada bangsa sendiri karena gue lihat calon presiden kita ini kapitalis ABIS. Hehe
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar